Minggu, 17 Agustus 2008

Tujuh Kurcaci Bag.I


Tujuh Kurcaci
By. Iskandar Zulkarnain ( Izoel Ibnoe Syafe’ie )

Syahdan menurut ibu saya, saya dilahirkan di Bidan Yati Kota Manggar Belitung Timur pada tanggal 1 Desember 1978 subuh hari antara Pukul 03.00-05.00 WIB pagi. Ibuku sudah lupa hari apa aku di lahirkan karena memang semenjak kelahiran abang saya yang kelima dia sudah berniat untuk mengikuti program keluarga berencana (KB). Namun apa mau dikata dia masih mendapatkan kepercayaan untuk kembali melahirkan bujang-bujang berikutnya yakni abangku yang keenam dan aku tentunya. Di kemudian hari baru aku tahu bahwa aku dilahirkan pada hari Jum’at, hari mulianya umat islam.
Niat untuk menghentikan kegiatan melahirkan ibuku memang realistis, disamping ayah yang semenjak kelahiran anak ketiga menyandang status ex-PN.Timah (Partikelir) + status sosialnya, juga kondisi ekonomi keluarga yang semakin memburuk saat itu. Abangku yang keenam sempat dititipkan pada bibiku, namun naluriah sang ibu tidak mampu melepas abangku terbang bersama sang bibi ke Singapore. Meskipun hidup melarat dan serba kekurangan kami tetap mempertahankan keutuhan keluarga. Bagi orang Belitong saat itu, tidak bekerja di PN.Timah adalah gambaran kesuraman masa depan, bahkan dianggap masyarakat kelas bawah yang tidak berhak menikmati fasilitas PN. Timah.
Melahirkan dalam kondisi yang tidak terencana membuat ayahku kebingungan akan diberi nama apa anaknya yang ketujuh ini. Akhirnya, beliau mendelegasikan tugas ini kepada abang sepupuku dan jadilah anak ketujuh ini bernama ISKANDAR ZULKARNAIN, konon nama itu adalah nama seorang raja muda gagah perkasa di masa lalu yang mampu menaklukkan dunia dari belahan timur sampai bagian barat dunia. Namun sayangnya sang raja harus meninggal dunia di usia muda dikarenakan penyakit malaria. Namanya diabadikan dalam kitab suci Al-Quran surat Kahfi, dalam sejarah umat nasrani beliau lebih terkenal dengan sebutan Alexander Yang Agung. Ayah sependapat dengan abang sepupuku atas nama itu artinya secara responsibility dia sukses mendelegasikan tugasnya kepada sang abang sepupuku, secara accountibility dia ikut meng-amini dan bertanggung jawab atas pemberian nama itu. Saya percaya nama adalah do’a, persoalan terkabul dan tidak itu wewenang Tuhan sang pencipta.
Setelah kelahiranku, keluarga kami pindah rumah dari Jalan Gajah Mada Manggar ke Desa Lalang Manggar. Rumah lama di Jalan Gajah Mada di jual pada sekitar tahun 1992 dan hasil penjualannya digunakan ayah untuk menambah biaya perjalanan menunaikan ibadah haji pada waktu itu. Saya masih ingat rumah itu setengah permanen dan sebagian papannya sudah termakan rayap, didepannya ada pohon nangka dan pohon jambu, namun menurut cerita ayah sebelum rumah itu di bangun rumah kita hanya terbuat dari kaleng bekas minyak goreng yang dibeli dari seorang tionghoa tukang minyak goreng. Pertimbangan kami pindah ke desa lalang saat itu dikarenakan semenjak ayah diberhentikan oleh PN.Timah beliau membuka toko kelontong di desa lalang diatas tanah warisan nenekku dan setiap hari harus mondar-mandir Jalan Gajah Mada-Desa Lalang, di malam hari toko kelontong itu hanya dijaga oleh abang tertuaku ditemani seorang abang sepupuku. Pertimbangan keamanan yang mendasari kepindahan kami walaupun sebenarnya rumah lama kami lebih ramai dan strategis karena dekat ke terminal dan ke pasar. Namun keramaian terkadang membuat suasana tidak nyaman dan aman, salah satunya kecelakaan yang menimpa abangku yang kelima ketika dia begitu ceria menyambut ayah kami sepulang ngerae (berbelanja-red) dari kampung dan berniat menyongsongnya di pinggir Jalan Gajah Mada secara tiba-tiba tersambar sepeda motor yang sedang melaju kencang dan menyeretnya hingga 10 m, beruntung dia masih selamat namun sampai saat ini masih ada tanda luka di kepalanya akibat kecelakaan itu.
Sejak kecil kami sudah di ajarkan untuk hidup prihatin dan mandiri. Aku harus berjualan kue sejak umur 8 tahun dengan abangku. Setiap pagi kami berkeliling kampung dengan teriakan; jaaaajak jajaaaaak!!! ( jajak dalam bahasa belitong artinya kue). Banyak pengalaman yang menyesakkan dada dan menyenangkan pada saat berjualan kue ketika harus menghadapi tingkah laku konsumen yang beraneka ragam. Aku masih ingat beberapa konsumen kami yang memang mempunyai kenangan tersendiri diantaranya seorang nenek tua bernama Sina (mungkin Xena nama aslinya), sang nenek adalah langganan tetap kami dan setiap pagi kami selalu hadir menjajakan kue kepada beliau. Suami sang nenek namanya Bedul ( mungkin Abdul nama aslinya ) umurnya jauh lebih muda ketimbang sang nenek, konon menurut warga sekitar sang kakek hanya ingin numpang hidup saja dari sang nenek. Sang nenek ini mengidap penyakit kencing manis sekaligus obesitas (kegemukan), taksiranku berat badannya kurang lebih 1,5 Kwintal sehingga membuat beliau tidak mampu berjalan lagi dan harus melaksanakan hajatnya di tempat tidur. Dan setiap kali beliau membeli kue, kami harus melayaninya di dalam kamar beliau yang aromanya serasa di dalam pabrik Ammoniak (NH4OH) pesing dan membuat kepala terasa dihantam benda keras. Dan sialnya kami harus menunggui beliau makan satu-persatu kue kami sampai beliau kenyang. Alhasil tak jarang aku sering terlambat masuk sekolah hanya karena kelamaan menunggu beliau selesai menyantap kue-kue kami. Usut punya usut ternyata penjaja kue lain tidak mau melayani beliau, dan hanya kami yang bersedia melayani; Total Service Pabrik Ammoniak !!!
Meskipun harus berjualan kue, dan sering masuk sekolah terlambat tidak menjadi alasan untukku untuk tidak berprestasi di sekolah. Ketika masih duduk dibangku Sekolah Dasar Negeri 5 Manggar aku selalu menjadi juara pertama di kelas. Dan jauh hari sebelum masuk sekolah dasar aku sudah lancar baca tulis, pada masa itu keterampilan baca tulis biasanya mulai kelihatan pada kelas 2 sekolah dasar, walaupun aku tidak pernah mengenyam pendidikan Taman Kanak-Kanak (TK). Pilihan untuk tidak masuk TK adalah pilihanku sendiri karena aku melihat muatan pendidikan TK tidak terlalu mendukung pendidikan selanjutnya, paling hanya bernyanyi dan bermain. Guru pertamaku adalah sang Ayah, dengan bermodal papan tulis dan kapur beliau mengajarkanku baca tulis. Hebatnya, tulisan pertama yang beliau ajarkan padaku adalah KAMBING beserta ceritanya, mengapa hebat? Karena saat itu kami memiliki 3 ekor kambing masing-masing bernama; Baret, Coke, dan Raga. Dan aku sangat keranjingan sekali dengan binatang piaraan kami ini, tak jarang aku menghabiskan waktu berjam-jam menunggangi si Baret (kambing bandot) sambil berkhayal bak di dalam film Bonanza dan Lone Rangers. Belajar dari apa yang dekat dengan kita dan kita senangi tentunya akan lebih efektif ketimbang belajar sesuatu yang masih imajiner dan abstrak. Absurd ayahku sekaligus dosen filsafatku.
Masa-masa kecilku, hampir sama sekali tidak menyediakan waktu untukku bermain layaknya anak-anak seusiaku. Rutinitas yang harus dijalani dimulai selepas sholat shubuh berjama’ah di lanjutkan dengan kegiatan Cake Market (Bejual jajak), setelah itu sekolah, mengaji, mengambil rumput untuk makanan kambing, dan ketika libur sekolah aku sering menemani ayah untuk pergi mukat (menjaring ikan) atau menjala ikan di laut dan hasilnya sebagian kami makan dan sebagian kami jual. Terkadang aku juga sering kekebun kami yang berjarak ± 10 km dari rumah di daerah janting, ayah senang bercocok tanam cabe, jagung, kacang hijau, pisang dan singkong. Hasilnya untuk makan dan sebagian dijual di warung kelontongan kami.
Kondisi perekonomian kami yang pas-pasan terbantu oleh kegiatan ibu berdagang, bahkan kegiatan berdagang ini menjadi penopang roda perekonomian keluarga. Semenjak ayah diberhentikan dengan tidak hormat oleh PN.Timah ibuku ikut membantu menafkahi keluarga. Diawali dengan menjadi tukang jahit ibuku merintis usaha kecil-kecilannya, maklumlah sebenarnya ibu berasal dari keluarga berada pada masa itu, sebagai anak perempuan satu-satunya di keluarga ibu, dia tidak diperkenankan untuk membantu kegiatan dapur dan lebih banyak menekuni kegiatan kerajinan tangan salah satunya menjahit dan merajut. Ternyata kegiatan menjahit ibu menguras banyak tenaganya, dan mengakibatkan kondisi tubuhnya lemah bahkan saat melahirkan anak keempat kondisi bayinyapun ikut lemah, kemudian bidan menyarankan untuk mengurangi aktivitas kerja ibu. Namun ibu tidak mengindahkan saran sang bidan alhasil kakak nomor empatku mengalami gangguan kesehatan ketika bayinya serta proses persalinannya agak kesulitan akibat sang bayi dalam kondisi sungsang. Hal ini mengilhami sang ibu untu merubah haluan dari penjahit menjadi pedagang. Diawali dengan bermodalkan kepercayaan sang ibu memberanikan diri untuk meminjam barang dagangan dari seorang baba, namanya Abun di pasar Tanjung Pandan ( Ibukota Kabupaten Belitung ). Setiap kali ibu mengambil dagangannya di baba Abun aku selalu ingin ikut menemani sekaligus membantunya membawa dagangan, sebenarnya sih yang paling penting aku ingin menikmati makanan sate yang berada di sekitar toko si baba karena setiap kali kami sampai di toko si baba pasti langsung ditanya mau makan apa?? Si baba suka marah kalo ibu langsung berhitung dan fokus pada barang dagangan, kemarahan si baba biasanya dilampiaskan pada pelayan tokonya, ”Suruh makan dulu ibunya, kamu jangan urus dulu dagangan ha..yaa..!!”. Sang tukang satepun selalu ceria kalau ibu datang, dengan sigap dia membakar sate-satenya selain untuk dimakan di tempat, sebagian ada yang dibungkus untuk di bawa pulang. Semua pembayaran sate ditanggung baba Abun. Awalnya aku terheran-heran juga dengan kelakuan si baba, dikemudian hari aku baru mengerti bahwa dalam dunia marketing itulah namanya total service, bahwa konsumen adalah raja dan kenyamanan konsumen adalah kepuasan pedagang.
Kebutuhan barang dagangan ibu tidak berhenti pada pasar lokal yang ada di Belitung, dengan alasan ingin menjenguk adiknya yang kuliah di Bandung beliau mulai merambah kota-kota besar yang ada di pulau Jawa sebagai sumber dagangannya. Hubungan dagang mulai beliau bangun dari pasar-pasar tradisional yang ada di pulau Jawa; Bandung, Jogja, dan Jakarta menjadi petualangannya. Tak jarang karena saking ekonomisnya beliau memilih sarana transportasi laut kapal barang sebagai sarana transportasi petualangannya. Suatu ketika kapal barang yang ditumpanginya karam ditengah-tengah laut jawa, beruntung nyawanya terselamatkan oleh kapal tanker berbendera Panama yang membawanya ke daratan Pontianak untuk kemudian di ”deportasi” oleh dinas sosial setempat ke pelabuhan tanjung perak semarang, setelah itu baru meneruskan perjalanan menuju Bandung. Lucunya beliau dikategorikan manusia apung yang pada waktu itu banyak berdatangan akibat perang saudara Vietnam. Kamipun sempat was-was karena belum mendapat kabar dari beliau, setelah 2 minggu tak ada kabar kami mengontak paman saya yang berada di Bandung, dan barulah beliau bercerita tentang kejadian itu. Hampir saja aku kehilangan ibu yang dimataku adalah pejuang sejati, cintaku kepadanya tak pernah tergantikan oleh cinta wanita manapun di dunia ini...I love you mom..Forever..
Untuk memudahkan hubungan dagang antar pulau, ibuku meminta kakakku nomor 2 untuk bersekolah di Bandung setamat SMP dan meneruskan ke sekolah kejuruan farmasi yang ada di kota Bandung. Inilah cikal bakal kelak cerita hidupku harus aku teruskan di tanah rantau kota ”kembang kamboja” Bandung.

Ayahku sayang ayahku malang...
Sebelum meneruskan cerita ini izinkan aku sedikit membuka tabir sejarah hidup ayahku. Ayah yang di mataku penuh kasih sayang dan pengertian hanya kemudian karakter dan wibawanya harus terbunuh oleh suatu tindakan politik ”genosida” (pemberangusan) atas suatu ideologi. Sejarah hidup seoarang manusia yang terlalu dungu untuk memahami suatu ideologi, akan tetapi kemudian dia terbawa arus yang kemudian ideologi itu harus dibumihanguskan oleh negara Pancasila hanya karena aplikasinya yang salah. Aku tidak ingin membuat pledoi dalam tulisan ini, ataupun membuat tesis tentang sebuah ideologi, karena aku yakin sebuah ideologi terlahir dari pemikiran manusia yang merupakan anugerah tersendiri dari Tuhan dengan latar belakang sosial-kultur yang mengilhaminya terlepas dari benar dan salahnya suatu ideologi, karena manusia tidak berhak menjustifikasi sebuah ideologi, Tuhan saja menghargai hambanya yang berijtihad dengan memberi ganjaran satu pahala bagi yang ijtihadnya salah, lalu kenapa kemudian manusia ingin melebihi-Nya?
Ayahku terlahir sebagai anak ke enam dari sepuluh bersaudara dari keturunan ulama di kota Manggar, H. Abdullah bin H. Ahmad bin H. Taib adalah garis keturunannya yang merupakan tokoh-tokoh agama yang disegani pada masanya. Dibesarkan dalam lingkungan islami membuat beliau mempunyai kepekaan sosial yang tinggi dalam pergaulannya. Sialnya sifat inilah yang kemudian harus menyeret beliau menjadi ”terdakwa” tanpa putusan pengadilan atas nama negara Pancasila yang harus membunuh cita-cita dan harapannya atas anak cucunya kelak. Menyakitkan bung, ketika beliau menerima putusan bahwa beliau adalah narapidana politik (napol) ex- G 30 S/PKI dengan vonis bahwa segala gerak-geriknya harus seizin rezim militer, bahkan untuk melaksanakan perintah Tuhan Ibadah Hajipun beliau harus mengantongi izin dari pihak militer, lebih menyakitkan lagi bung bahwa anak cucunya di vonis haram menjadi abdi negara di negara Pancasila ini. Air matanya mengering dalam 2/3 malam ditengah kekhusyukannya bersujud dalam do’anya seakan dia menjerit : Tuhan !!, betapa tak bergunanya hamba di tanah yang penuh dendam ini, sebagai ayah dan sebagai imam keluarga ini kenapa hamba harus mewariskan dosa politik kepada anak-cucu hamba, apa dosa mereka Tuhan ? Hamba hanya jasad bernyawa yang telah kehilangan asa, ampuni dosa hamba Tuhan jika pernah hamba tidak mengakui-Mu, bukankah Engkau yang Maha Tahu hati setiap hamba-hamba-Mu. Aku sering mendapati beliau termenung seakan berpikir panjang tentang kehidupannya, ketika aku tanya apa yang sedang beliau pikirkan? Beliau hanya tersenyum dengan sejuta kesahajaannya. Ayahku, aku tahu ada beban berat di pundakmu, biarkan aku menanggungnya ayahku. Ayahku, aku tahu ada dendam yang tak terungkapkan di dalam bathinmu, biarkan aku yang melampiaskannya ayahku, dengan kedua tanganku izinkan aku menghajar sang penguasa yang merasa bisa menggenggam jiwa manusia. Ayahku, aku bangga menjadi anakmu...aku tahu ada do’amu dalam namaku dan setiap tarikan nafasku. Biarkan aku jadi jagoanmu, jadi kebanggaanmu ayahku.

Senin, 28 Juli 2008

Iskandarmedia

Iskandar Zulkarnain, terlahir di Belitung pada tanggal 1 Desember 1978 mencoba berbagi lewat media ini.